PPWI, SURABAYA - FISIP Unair memfasilitasi Focus Group Discussion (FGD) KPU Republik Indonesia yang bertajuk "Evaluasi Hasil Penyelenggaran Pemilihan Serentak Periode 2015 – 2018".
FGD ini dihadiri oleh pihak-pihak terkait pemilu serentak seperti Komisi II DPR RI. Kemendagri, KPU Provinsi Jawa Timur, Polda Jawa Timur, perwakilan partai-partai politik, akademisi serta mahasiswa. Bertempat di Ruang Adi Sukadana FISIP Unair, FGD berlangsung mulai pukul 09.00 WIB hingga 16.00 WIB.
FGD KPU RI ini bersifat tematik, yang dilaksanakan empat kampus, diantaranya Universitas Sumatera Utara, Universitas Hasanuddin, Universitas Airlangga, dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Sabtu, (03/11/2018).
FGD dimulai dengan sambutan dari Dekan FISIP Unair yang menyampaikan bahwa dengan adanya FGD ini diharapkan dapat membantu mengembangkan kemampuan dan pengetahuan mahasiswa mengenai pilkada serentak.
Selanjutnya, FGD dibuka oleh ketua KPU, Arief Budiman. FGD yang berlangsung di FISIP Unair terdiri atas dua sesi, yang mana setiap sesinya tebagi atas beberapa materi.
Pada sesi I, materi pertama dipaparkan oleh Kris Nugroho selaku perwakilan akademisi dan juga Kepala Departemen Ilmu Politik FISIP Unair. Dalam materinya, Kris menyampaikan mengenai hasil penelitian mengenai pilkada serentak dengan tema "Kampanye SARA: Regulasi, Modus Operandi dan Solusi".
Kemudian materi kedua disampaikan oleh Zainuddin Amali, perwakilan Komisi II DPR RI mengenai "Penguatan Regulasi, Mencari Solusi Politik Identitas".
Lalu, materi ketiga disampaikan Soni Sumarsono, perwakilan dari Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, membahas "Kampanye SARA, Potensi Disintegrasi Bangasa" dalam sudut pandang partai politik, Akhirnya, hasil dari FGD sesi pertama ini yaitu, adanya upaya kecenderungan menggunakan isu SARA atau politik identitas karena biaya yang murah.
Menggunakan isu SARA tidak hanya berefek secara lokal, namun juga pada integritas negara. Sehingga, perlu adanya penguatan regulasi pada UU maupun PKPU.
Pada sesi kedua membahas lebih dalam mengenai alasan politik identitas makin menguat serta modus operandinya. Hal tersebut terjadi karena adanya keterlambatan penanganan kasus-kasus intoleransi.
Seringkali, modus-modus tersebut disampaikan melalui tempat ibadah dalam bentuk ceramah agama. Sehingga; kerja politik jauh lebih dibutuhkan, bukan hanya sekedar regulasi.
Kerja politik yang dimaksud adalah mendisiplinkan seluruh elemen masyarakat pada nilai-nilai kebangsaan. Dimana hal ini kemudian menjadi tanggung jawab bersama agar pemilu damai dapat tercapai.
Dikesempatan itu, Arief Budiman mengatakan, Pemilu itu merupakan sebuah siklus, mulai dari persiapan, pelaksaanaan dan evaluasi. Pilkada serentak memang sudah selesai. Sehingga dibutuhkan evaluasi mengenai SDM, anggaran dana, kampanye, regulasi, maupun isu SARA yang terjadi.
"Kami memilih FISIP Unair karena banyak ahli pemilu disini, misalnya saja Pak Kris dan Prof. Ramlan, dan juga Jawa Timur sendiri memiliki karakteristik unik dalam kehidupan politik dan demokrasi Indonesia," ujarnya.
Masukan-masukan yang muncul dari FGD ini, nantinya baik dari partai politik maupun tokoh politik nantinya akan dikaji dan bisa menjadi rekomendasi bagi penyelenggara pemilu, peserta pemilu, pembuatan uu maupun pemeriantah.
"Saya ingin pemilu dan demokrasi di Indonesia menjadi semakin baik dan itu harus diupayakan oleh semua pihak baik dari penyelenggara pemilu, partai politik, akademisi, mahasiswa dan seluruh elemen masyarakat," ujarnya. (gdr)
Terima kasih telah berkunjung ke PPWInews.com. Silahkan berkomentar dengan sopan. Terimakasih.