PPWI,JAKARTA- Implementasi peta jalan Making Indonesia 4.0 diyakini
dapat merevitalisasi sektor industri manufaktur agar lebih berkontribusi
terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Sasaran besarnya adalah menjadikan
Indonesia masuk dalam jajaran 10 besar negara dengan perekonomian terkuat di
dunia tahun 2030.
“Dalam merespons perkembangan
global saat ini, Kementerian Perindustrian beserta sektor swasta sedang
menyiapkan program strategis. Tujuannya untuk semakin meningkatkan
produktivitas dan efisiensi di sektor manufaktur dalam menghadapi era revolusi
indutri 4.0,” kata Staf Khusus Kemenperin Zakir Machmud di Jakarta, Rabu (31/10/2018).
Di samping itu, lanjut Zakir,
program yang ada di peta jalan itu juga akan mendongkrak kompetensi tenaga
kerja industri. Apalagi, Indonesia akan memasuki masa bonus demografi dengan
mayoritas penduduk berusia produktif.
“Oleh karenanya, perlu ada langkah
sinergi antara pemerintah dan swasta. Jadi, ini mutlak dilakukan, karena sektor
industri merupakan tulang punggung bagi perekonomian kita. Dan, industri
nasional harus berdaya saing global,” paparnya.
Terkait hal itu, Kemenperin telah
meluncurkan program pendidikan vokasi yang link and match dengan industri di
beberapa wilayah di Indonesia. Sebanyak 609 industri dan 1.753 Sekolah Menengah
Kejuruan ikut terlibat dan pelaksanaan program ini akan terus digulirkan.
Di dalam Making Indonesia 4.0,
telah ditetapkan lima sektor manufaktur yang mendapat prioritas pengembangan,
yaitu industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia dan
elektronika. “Lima sektor ini yang akan difokuskan untuk menjadi motor ekonomi
ke depan, karena telah siap memasuki era digital,” jelas Zakir.
Lebih lanjut, menurutnya,
Kemenperin sedang memperhitungkan besarnya dampak dari lima sektor industri
tersebut kepada peningkatan nilai ekspor, pembentukan lapangan pekerjaan dan
pertumbuhan ekonomi. Zakir optimistis, daya saing lima sektor tersebut akan
semakin kuat seiring dengan kebijakan pemerintah yang telah dikeluarkan, antara
lain kemudahan investasi melalui Online Single Submission (OSS), pengawasan dan
pengamanan Devisa Hasil Ekspor (DHE), perluasan pasar ekspor, pemberian
insentif daya saing ekspor, serta peningkatkan Pusat Logistik Berikat sebagai
media konsolidasi ekspor.
Sejalan upaya tersebut,
pemerintah juga telah berkomitmen untuk mengimplementasikan program B20
mandatory untuk menekan defisit sektor migas, kenaikan tarif PPh impor barang
konsumsi untuk 1.147 pos tarif, pengoptimalan tingkat kandungan dalam negeri
(TKDN) untuk proyek tenaga listrik dan migas, serta kemudahan layanan
e-commerce dan asesmen impor barang kiriman.
Kebijakan tersebut dinilai mampu
membangkitkan geliat industri manufaktur nasional. Berdasarkan data Prompt
Manufacturing Index (PMI) yang dirilis oleh Bank Indonesia, sektor industri
pengolahan di Tanah Air dinilai tetap ekspansif sepanjang kuartal III/2018,
dengan ditopang oleh performa positif dari volume produksi yang terus
berlanjut.
Merujuk indeks itu, kinerja
sektor industri pengolahan pada Juli-September 2018 berada pada level 52,02%.
Peringkat di atas 50% menunjukkan industri sedang ekspansi. Fase ekspansif ini
telah dimulai sejak kuartal I/2018 (50,14%) dan berlanjut ke kuartal II/2018
(52,40%).
BI memproyeksi pertumbuhan PMI
yang ekspansif ini akan terefleksi dalam pertumbuhan ekonomi pada kuartal
III/2018 dengan berada di atas 5%. Bahkan, fase ekspansi di sektor industri
pengolahan juga aka masih terus berlanjut pada kuartal IV/2018.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha
Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani meyakini tren positif di sektor industri
manufaktur masih akan bertahan hingga akhir tahun ini, sejalan dengan
permintaan dometik yang terus meningkat. Namun demikian, guna memacu kinerja industri,
pemerintah perlu terus memperhatikan segala kebutuhan sektor manufaktur,
terutama mengenai pasokan bahan baku. (red)
Terima kasih telah berkunjung ke PPWInews.com. Silahkan berkomentar dengan sopan. Terimakasih.